Pentas Rebon 2025: Refleksi Akhir Tahun di Atas Panggung Budaya

by ifid|| 29 Agustus 2025 || || 88 kali

...

Yogyakarta– Angin malam yang dingin tak mampu mendinginkan antusiasme yang membara di Gedung Societeit Militaire, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu malam lalu. Sejak menjelang pukul 19.30 WIB, serbuan penonton yang datang dari berbagai penjuru kota mulai memenuhi kursi-kursi, menciptakan suasana riuh rendah yang tak biasa. Wajah-wajah penuh harap tampak tak sabar, seolah ingin memastikan diri mereka menjadi saksi dari setiap detik penampilan terakhir Pentas Rebon TBY 2025. Malam itu, panggung legendaris ini bukan sekadar menyajikan hiburan, melainkan sebuah epilog tahunan yang sarat makna, merangkai teater, kethoprak, dan dagelan Mataram dalam satu napas pertunjukan yang menghadirkan tawa, menyingkap lembaran sejarah, dan mengajak penonton untuk merenung.

Pentas Rebon, sebuah program bulanan yang telah menjadi denyut nadi seni pertunjukan di Yogyakarta, kini memasuki babak penutup untuk tahun ini. Acara ini bukan hanya menjadi etalase bagi seniman-seniman andal, melainkan juga sebuah laboratorium budaya di mana tradisi berdialog dengan modernitas. Di antara hiruk pikuk persiapan di belakang panggung, semangat kolaborasi dan kebersamaan terasa kental. Masing-masing tim seniman, dari para aktor teater yang penuh dedikasi, penari kethoprak yang anggun, hingga pelawak dagelan yang spontan, bersiap untuk memberikan yang terbaik. Mereka tahu, malam ini bukan hanya tentang penampilan, tetapi tentang merayakan perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama, dengan segala tantangan dan pencapaian.

Panggung Adalah Jiwa dan Cermin Masyarakat

Panggung dibuka dengan serangkaian sambutan yang memecah keheningan riuh penonton. Namun, ini bukanlah sambutan formalitas semata. Setiap kata yang terucap adalah refleksi mendalam dari para pelaku seni. Dr. Drs. Nur Iswantara, yang mewakili seni teater, menyampaikan sebuah kiasan yang menggugah hati, "Panggung tanpa penonton ibarat tubuh tanpa jiwa." Kalimat sederhana itu menggemakan sebuah kebenaran universal: seni hidup karena ada yang mengapresiasi. Ia mengingatkan bahwa perjuangan seorang seniman—dari latihan yang melelahkan hingga pertunjukan yang penuh ketidakpastian—akan terasa hampa jika tidak sampai ke hati masyarakat. Kehadiran penonton, baginya, bukanlah sekadar fisik, melainkan sebuah energi yang memberikan nyawa pada setiap adegan, setiap dialog, dan setiap gestur.

Pesan ini kemudian disambung oleh Bambang Paningron Astiaji dari perwakilan seni kethoprak. Dengan nada yang lebih pragmatis namun penuh kehangatan, ia mengucapkan terima kasih tulus kepada penonton setia. "Konsistensi Bapak/Ibu untuk hadir dari bulan ke bulan adalah bukti nyata bahwa seni pertunjukan kita masih punya tempat dihati masyarakat," ujarnya. Lebih dari sekadar ungkapan terima kasih, ia juga memberikan sebuah "pekerjaan rumah" bagi seluruh pihak yang terlibat. Jumlah penonton yang kian meningkat dari tahun ke tahun adalah sebuah tantangan. "Bagaimana caranya agar penonton yang semakin banyak ini tetap bisa mendapatkan asupan positif di tahun-tahun mendatang?" tanyanya. Hal ini menyoroti perlunya inovasi dan peningkatan kualitas agar Pentas Rebon tidak hanya menjadi wadah hiburan, tetapi juga pusat edukasi yang relevan bagi masyarakat yang terus berubah.

Selanjutnya, Marwoto Kawer, seniman dan budayawan senior, memberikan perspektif yang lebih luas. Ia menegaskan peran Pentas Rebon sebagai jembatan lintas generasi. “Dulu orang yang ingin bermain film harus belajar di lembaga formal seperti Astrafi (Akademi Seni Drama dan Film), tetapi kini banyak yang bisa belajar langsung dari panggung-panggung rakyat seperti Pentas Rebon,” ungkapnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa Pentas Rebon telah bertransformasi menjadi ruang belajar terbuka, tempat di mana generasi muda bisa memahami seni secara langsung, sementara penonton senior bisa bernostalgia dengan akar budaya mereka.

Cermin Kemanusiaan dalam "Makam Tak Bertuan dan Tuan Tak Bermakam"

Pentas pertama segera dimulai, tirai terbuka, dan penonton langsung dibawa masuk ke dalam alur cerita teater "Makam Tak Bertuan dan Tuan Tak Bermakam." Lakon ini menyuguhkan sebuah satire sosial yang menusuk, mengisahkan ironi sebuah makam keramat yang seharusnya disucikan, tetapi justru dijadikan alat untuk meraup keuntungan oleh sang juru kunci. Di tengah narasi yang penuh sindiran, penonton dipaksa untuk merenung: betapa mudahnya nilai-nilai spiritual dan penghormatan pada leluhur tereduksi menjadi alat komersial yang menjijikkan.

Dalam cerita ini, hanya seorang 'kemit bumi' yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tradisi, menjaga makam tersebut dengan ketulusan yang murni. Namun, keserakahan juru kunci yang terus-menerus mendatangkan pengunjung dengan dalih ritual mistis, memicu kegelisahan. Ketamakan yang merajalela digambarkan telah mengusik kesucian makam, hingga arwah yang bersemayam di dalamnya murka. Adegan demi adegan yang dibangun dengan intensitas tinggi berhasil membuat penonton terhanyut. Mereka tidak hanya larut dalam emosi, tetapi juga merasa terpanggil untuk mengevaluasi diri sendiri.

Pesan moral yang mendalam dan tersembunyi dalam lakon ini adalah sebuah peringatan keras. Warisan leluhur bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan. Nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan sejarah harus dijaga dengan hati yang tulus. Melalui "Makam Tak Bertuan dan Tuan Tak Bermakam," Pentas Rebon berhasil mengemas kritik sosial yang tajam dalam bentuk seni yang indah. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga berhasil mengetuk kesadaran kolektif untuk kembali merenungkan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam menjaga warisan budaya. Teater ini menjadi cermin bagi masyarakat yang semakin terjerat dalam materialisme, mengingatkan bahwa ada hal-hal yang lebih berharga daripada sekadar uang.

Mengurai Luka Sejarah di Panggung "Surya Pabaratan"

Selepas teater yang mengajak penonton merenung, suasana panggung berubah total, beralih ke nuansa sejarah yang kelam dan sarat emosi. Kethoprak dengan lakon "Surya Pabaratan" membawa penonton menyelami sebuah kisah getir dari lingkungan Kraton Yogyakarta. Sorotan utama cerita jatuh pada sosok GKR Sekar Kedaton, permaisuri Sultan Hamengkubuwono V. Dengan penuh keanggunan, ia melahirkan seorang putra, Gusti Pangeran Timur Muhammad. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Tekanan adat dan intrik politik yang mengelilinginya menyingkirkannya dari garis pewarisan takhta. Sebuah takdir pahit yang merenggut haknya sebagai seorang ibu.

Pentas kethoprak ini berhasil mengemas sejarah dengan sentuhan dramatik yang kuat. Dengan tata panggung yang megah, iringan gamelan yang lirih namun sarat makna, dan dialog yang mendalam, penonton diajak masuk ke dalam pergulatan batin seorang ibu yang berjuang di tengah badai politik yang kejam. Salah satu adegan paling menyayat hati adalah ketika GKR Sekar Kedaton bersama putranya dibuang ke Manado pada tahun 1883. Dalam pengasingan itu, mereka menjalani sisa hidup dalam kesepian, meninggalkan luka sejarah yang menggores hati.

Melalui kisah ini, kethoprak "Surya Pabaratan" bukan hanya menjadi tontonan, melainkan juga sebuah tuntunan. Ia mengingatkan generasi sekarang bahwa sejarah bukan hanya deretan tanggal dan nama, tetapi juga cermin kehidupan yang relevan untuk dipelajari. Pertunjukan ini berhasil menunjukkan bahwa di balik gemerlap keraton dan kekuasaan, ada kisah-kisah manusia yang penuh penderitaan dan pengorbanan. Gamelan yang mengalun lirih sepanjang pertunjukan seolah menjadi tangisan para tokoh yang tak terucap. Kethoprak ini mengukuhkan perannya sebagai media yang mampu menghidupkan kembali narasi-narasi masa lalu, memastikan bahwa luka-luka sejarah tidak pernah hilang dari ingatan kolektif.

Tawa di Tengah Ironi Kehidupan

Sebagai penutup, giliran Dagelan Mataram yang tampil membawakan lakon "Omah Warisan." Setelah penonton larut dalam emosi dan renungan, dagelan ini menjadi penyejuk yang menyegarkan. Lakon ini disajikan dengan ringan namun sarat dengan sindiran sosial yang tajam. Cerita ini berkisah tentang empat saudara yang memperebutkan sebuah rumah tua peninggalan leluhur. Masing-masing memiliki alasan yang berbeda: ada yang ingin menjadikannya rumah keluarga, ada yang hendak menjual untuk keuntungan pribadi, ada yang menjadikannya konten media sosial, dan ada pula yang terpaksa mengincarnya demi melunasi tumpukan utang. Konflik ini diperparah dengan intrik sang penjaga rumah yang juga tergiur, membuat situasi semakin rumit.

Namun, kejutan terbesar muncul ketika rumah tersebut ternyata berhantu. Di tengah ketegangan yang memuncak, gelak tawa penonton pecah. Adegan-adegan lucu yang spontan dan penuh sindiran ini menghadirkan hiburan segar sekaligus menyentil sifat dasar manusia yang serakah. Sang sutradara, Toelis Priyantono, menegaskan bahwa cerita ini lahir dari kondisi nyata masyarakat saat ini. Menurutnya, hampir semua hal kini diukur dengan harta, tetapi tidak semua harta bisa dinikmati, apalagi jika tidak dijaga dengan sungguh-sungguh. Ia pun mengaitkan kisah ini dengan kondisi bangsa Indonesia yang sejatinya kaya raya, namun kekayaannya sering kali hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Toelis Semero menambahkan, "Omah Warisan" adalah sebuah metafora. Empat saudara yang memperebutkan rumah adalah gambaran berbagai pihak yang saling berebut kekuasaan dan kekayaan tanpa peduli pada nilai-nilai persaudaraan. Dan hantu yang muncul adalah karma atau konsekuensi dari keserakahan yang tidak terkendali. Pesan ini membuat penonton pulang dengan perasaan campur aduk: tertawa sekaligus merenung.

Rangkaian tiga pementasan ini menegaskan bahwa Pentas Rebon TBY 2025 bukan sekadar agenda seni bulanan yang berakhir di penghujung tahun. Ia adalah ruang perjumpaan antara seniman dan penonton, ruang untuk belajar, bercermin, sekaligus bersyukur. Dari teater yang mengajarkan pentingnya kejujuran, kethoprak yang menghidupkan kisah sejarah penuh makna, hingga dagelan Mataram yang menyajikan tawa bercampur sindiran tajam, semuanya memberi pelajaran bahwa seni selalu punya cara untuk menyapa hati sekaligus pikiran. Pentas Rebon telah berhasil menjadi sebuah trilogi pertunjukan yang berkesan.

Melalui keberagaman karya yang ditampilkan, Pentas Rebon memberikan pengalaman kolektif yang kaya: ada hiburan, ada pelajaran sejarah, ada kritik sosial, dan ada ruang untuk bercermin. Malam itu, Pentas Rebon tidak hanya mengakhiri tahun dengan tepuk tangan meriah, tetapi juga meninggalkan harapan besar. Harapan bahwa agenda ini akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang dengan karya-karya baru, memperluas apresiasi penonton, serta menjaga Taman Budaya Yogyakarta sebagai rumah besar bagi kreativitas, kebudayaan, dan refleksi kehidupan bersama. (azka/ray)

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta