by ifid|| 05 September 2025 || || 92 kali
Perayaan Visual di Kota Budaya
Yogyakarta, 8 September 2025 - Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi dan arus globalisasi, sebuah pameran seni di Kota Budaya, Yogyakarta, hadir sebagai pengingat akan pentingnya melestarikan warisan adiluhung. Pameran Fotografi Rana Budaya #3: Still Culture resmi dibuka pada Kamis (4/9) di Gedung Militaire Societeit, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), menarik perhatian ribuan pasang mata pecinta seni dan fotografi dari seluruh penjuru Indonesia. Ajang tahunan ini bukan sekadar pameran, melainkan sebuah perayaan visual yang merangkum kekayaan budaya melalui lensa kamera.
Dengan mengusung tema "Still Culture", pameran ini berhasil menjaring 1.500 karya dari fotografer profesional dan amatir. Dari jumlah yang fantastis itu, 150 karya terpilih dipamerkan, menciptakan sebuah narasi visual tentang benda-benda dan tradisi yang seringkali luput dari perhatian kita. Pameran ini seolah menjadi sebuah jendela yang membuka mata kita untuk melihat kembali detail-detail kecil yang membentuk identitas budaya bangsa.
Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati, menyampaikan harapan besar atas pameran ini. “Melalui pameran fotografi ini, kami berharap masyarakat dapat memperluas wawasan, menumbuhkan kecintaan terhadap budaya, serta mempererat silaturahmi antara seniman, komunitas, dan publik,” ujarnya. Harapan ini sejalan dengan misi TBY sebagai pusat kebudayaan yang memberikan ruang apresiasi bagi masyarakat untuk menyelami nilai-nilai luhur melalui medium visual.
Fotografi sebagai Arsip Budaya
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Laksmi Pratiwi, S.S., M.A., memberikan apresiasi tinggi terhadap pameran ini. Dalam sambutannya, beliau menekankan peran penting fotografi sebagai medium dokumentasi. “Pameran ini merekam objek-objek budaya yang kerap hadir di sekitar kita, namun detailnya sering luput dari perhatian. Karya-karya ini akan menjadi bagian dari arsip budaya yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang,” ungkapnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi esensi dari tema "Still Culture", yang mengajak para fotografer untuk merekam jejak budaya bukan hanya dalam momen seremonial, tetapi juga dalam keheningan benda-benda yang menyimpan cerita. Objek-objek seperti alat musik tradisional, kerajinan tangan, hingga benda-benda sehari-hari, menjadi subjek utama yang ditangkap oleh para fotografer.
Menurut kurator Budi Yuwono, tema ini memberikan kebebasan kreatif yang lebih luas dibandingkan edisi sebelumnya. "Dengan tema Still Culture ini, fotografer justru bisa menciptakan tema dan momen sendiri, tidak harus menunggu momen budaya tertentu seperti tahun lalu. Mungkin hal inilah yang membuat jumlah peserta membludak," jelas Budi. Kebebasan ini terbukti berhasil, dengan jumlah peserta yang melonjak, menunjukkan antusiasme yang luar biasa dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam melestarikan budaya.
Proses Kurasi dan Karya Terbaik
Proses seleksi karya menjadi tahap krusial dalam menentukan kualitas pameran. Dewan juri yang terdiri dari Aji Susanto Anom, Beawiharta, dan Shofia Utami melakukan penilaian secara ketat, berfokus pada kualitas teknis, kekuatan narasi visual, dan kesesuaian dengan tema. Sementara itu, tim kurator—Arsita Pinandita, Budi Yuwono, dan Rangga Purbaya—bekerja keras untuk merancang tata letak pameran agar setiap karya dapat dinikmati secara maksimal.
Dari 150 karya yang lolos seleksi, lima foto berhasil menyandang predikat terbaik. Setiap karya ini dinilai memiliki kekuatan visual dan narasi yang paling mewakili esensi "Still Culture".
Lima Karya Terbaik yang Menginspirasi
Melanjutkan daftar karya terbaik, dua foto berikutnya juga dinilai sangat kuat dalam merepresentasikan tema "Still Culture":
Kelima karya terbaik ini menjadi bukti nyata bahwa fotografi memiliki kekuatan untuk melampaui sekadar gambar. Mereka adalah catatan visual yang memperkaya arsip budaya dan menghadirkan perspektif baru terhadap warisan Nusantara.
Ruang Edukasi dan Dialog Budaya
Pameran Rana Budaya #3 tidak hanya sekedar memajang foto-foto, tetapi juga berfungsi sebagai ruang edukasi dan inspirasi. Pengunjung diajak untuk melihat kembali benda-benda di sekitar mereka dengan sudut pandang yang berbeda, menemukan keindahan dan cerita yang tersembunyi. Lebih dari itu, pameran ini menjadi ajang pertemuan antara seniman, komunitas, dan masyarakat, menciptakan dialog yang berkelanjutan tentang makna budaya di era modern.
Melalui interaksi yang terjalin selama pameran, Rana Budaya #3 berhasil menjadi wadah bagi pertukaran ide dan perspektif. Diskusi tentang nilai-nilai budaya, teknik fotografi, hingga masa depan seni rupa menjadi bagian tak terpisahkan dari pameran ini. Hal ini membuktikan bahwa sebuah pameran tidak harus bersifat pasif, melainkan bisa menjadi motor penggerak bagi tumbuhnya kecintaan dan apresiasi terhadap budaya.
Jembatan Budaya Lintas Generasi
Dian Laksmi Pratiwi, kembali menegaskan harapannya agar pameran ini dapat menjadi wadah pembinaan seni fotografi yang semakin berkembang pesat. "Foto dan berfoto sangat akrab dengan rutinitas sehari-hari masyarakat modern. Karenanya, pembinaan di cabang seni fotografi penting diselenggarakan," katanya.
Pameran ini adalah perayaan kekayaan budaya melalui lensa fotografi, dengan konsep pengarsipan yang mengajak peserta mendokumentasikan benda-benda dari masa lalu hingga masa kini. Hasil karya ini diharapkan dapat menjadi aset yang bernilai tinggi bagi pengembangan seni budaya di Yogyakarta dan Indonesia.
"Setiap foto adalah jendela yang membuka mata kita pada keindahan seni budaya di Indonesia. Karya-karya yang dipamerkan di sini bukan sekadar potret. Mereka adalah manifestasi dari dedikasi, ketelitian, dan kecintaan para seniman terhadap warisan budaya kita," tambahnya. Pameran ini menjadi pengingat bagi semua pihak akan pentingnya menjaga dan melestarikan kekayaan budaya.
Semoga pameran ini dapat menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan budaya kita, serta menginspirasi kita semua untuk lebih mencintai, menjaga, dan melestarikan budaya adiluhung Yogyakarta. Mari kita jadikan kebudayaan sebagai kekuatan yang mempersatukan dan memajukan bangsa. Pameran ini berlangsung hingga 13 September 2025.
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...