by ifid|| 05 September 2025 || || 139 kali
Yogyakarta – Di jantung Kota Yogyakarta, di tengah hiruk pikuk modernitas, tradisi kuno terus berdenyut, mengikat masa lalu dengan masa kini. Jumat (5/9/2025) lalu, ribuan pasang mata kembali menjadi saksi bisu dari salah satu perayaan budaya paling sakral: Hajad Dalem Garebeg Mulud. Namun, kali ini, ada yang lebih istimewa dari biasanya. Di antara barisan gunungan yang diarak, terselip sebuah pusaka langka yang hanya muncul setiap delapan tahun sekali: Gunungan Bromo. Kehadirannya bukan sekadar perwujudan syukur, melainkan sebuah narasi spiritual yang mendalam, terjalin dalam api, asap, dan filosofi Jawa.
Perayaan Garebeg Mulud, yang jatuh pada Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, telah lama menjadi jembatan antara Keraton dengan rakyatnya. Gunungan, simbol dari sedekah dan berkah Raja kepada rakyatnya, menjadi inti dari perayaan ini. Ratusan gunungan yang terbuat dari hasil bumi dan jajanan pasar diarak dengan penuh khidmat, membawa harapan dan doa. Di Kompleks Kepatihan, tempat para ASN Pemerintah Daerah (Pemda) DIY menanti, aura antusiasme membaur dengan rasa hormat. Sekitar 150 gunungan yang dialokasikan untuk para abdi negara ini juga turut dinikmati oleh masyarakat yang datang dari berbagai penjuru, menambah hangat suasana.
Dalam tradisi keraton, pembagian gunungan lazimnya menjadi tontonan yang penuh semangat, bahkan seringkali berujung pada perebutan atau yang dikenal dengan istilah rayahan. Namun, tradisi yang dijalankan di Kepatihan kali ini mengedepankan sebuah nilai luhur yang telah lama dipegang Keraton Yogyakarta: nyadhong, atau pembagian yang tertib. Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menjelaskan bahwa filosofi ini merupakan edukasi yang penting bagi masyarakat.
“Pada dasarnya budaya Jawa bukan budaya rayahan ya. Jadi ini juga akan mengedukasi masyarakat untuk tertib, sabar nampi paringan (menerima pemberian),” tutur Dian.
Filosofi nyadhong mengajarkan tentang penghormatan dan kesadaran bahwa berkah yang diterima adalah anugerah yang harus disambut dengan kesabaran dan keharmonisan, bukan dengan kekuatan. Prosesi di Kepatihan menjadi bukti bahwa nilai ini masih hidup dan relevan, di mana setiap orang memiliki hak untuk menerima berkah tanpa harus mengorbankan ketertiban dan toleransi.
Di tengah keramaian, perhatian tak bisa lepas dari keunikan Gunungan Bromo. Berbeda dari gunungan lain yang berbentuk kerucut, Gunungan Bromo tampil dengan siluet silinder tegak, menyerupai Gunungan Wadon (Estri), namun dengan sentuhan yang lebih sakral. Di puncaknya, sebuah lubang kecil menampung anglo, tungku tanah liat berisi bara api. Bara inilah, yang diambil dari kata "Brahma" (dewa api dalam mitologi Hindu), menjadi penanda dan sumber nama "Bromo."
Sepanjang arak-arakan, bara api membakar kemenyan, menghasilkan asap tebal yang mengepul ke angkasa. Asap ini bukanlah hiasan, melainkan simbol doa dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia dipercaya sebagai penolak bala bagi seluruh masyarakat, sebuah jembatan spiritual antara dunia manusia dan alam semesta. Kehadiran Gunungan Bromo yang hanya muncul setiap delapan tahun sekali, tepatnya pada Tahun Dal dalam kalender Jawa, menegaskan kelangkaan dan kesakralannya.
Satu hal yang membedakan Gunungan Bromo dari gunungan lain adalah peruntukannya. Gunungan ini tidak diperuntukkan bagi masyarakat umum untuk dirayah. Gunungan Bromo adalah sedekah khusus dari Sultan untuk para keluarga Keraton (Sentana Dalem) dan para abdi dalem. Setelah diarak dan didoakan, ia dibawa kembali ke dalam keraton untuk dibagikan secara khusus, sebagai wujud penghargaan dan berkah kepada mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan tradisi.
Sifatnya yang tidak bisa diperebutkan justru semakin menguatkan makna filosofisnya. Ia melambangkan api kehidupan dan doa keselamatan yang terus dijaga di dalam lingkup keraton, sebuah warisan yang dijaga dengan penuh tanggung jawab.
Bagi sebagian orang, kehadiran di Garebeg Mulud adalah sebuah ritual tahunan. Namun, bagi Erfinda, seorang warga asal Kediri, ini adalah pengalaman pertama yang tak terlupakan. “Kebetulan ini lagi ada kerjaan di Jogja terus mau main di sekitaran Malioboro. Denger ada grebeg di Kepatihan, jadi tertarik buat nonton karena memang belum pernah lihat langsung,” ujarnya dengan antusias.
Yang lebih mengejutkan, Erfinda mengaku tak menyangka bisa mendapatkan pareden ubarampe gunungan. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa berkah dapat datang dalam berbagai cara, seringkali tak terduga. Alih-alih mengonsumsinya, Erfinda memutuskan untuk membawa pareden itu ke Denpasar, tempat ia bekerja, sebagai wujud berkah yang akan dijaga. Ceritanya menjadi bukti nyata bagaimana tradisi ini menyentuh hati individu, melintasi batas-batas geografis dan menjadi bagian dari perjalanan spiritual personal.
Prosesi penyerahan gunungan di Kepatihan tidak lepas dari sebuah rekonstruksi tradisi yang dahulu dilakukan oleh Patih Danurejo pada masa Sri Sultan HB VII. Empat duta atau utusan terpilih dari ASN Pemda DIY, termasuk Asisten Sekretariat Daerah DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tri Saktiyana, melakukan ritual nyadhong atau penjemputan gunungan dari Keraton. Setelah mengikuti doa bersama di Masjid Gedhe, keempat duta ini berjalan bersama iring-iringan Bregada Bugis menuju Kepatihan.
Prosesi ini bukan sekadar arak-arakan. Ia adalah sebuah tontonan yang menegaskan kembali peran abdi negara sebagai jembatan antara keraton dan masyarakat, sebuah peran yang telah dimainkan selama berabad-abad. Dengan penuh khidmat, mereka membawa gunungan, simbol amanah dan berkah, untuk disalurkan kepada sesama abdi negara dan masyarakat yang hadir.
Animo masyarakat yang terus bertambah dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa tradisi Garebeg Mulud tetap relevan dan dicintai. Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, bahkan berencana untuk menambah jumlah gunungan yang dibagikan di Kepatihan, sebagai respons terhadap antusiasme ini. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk menjaga tradisi tetap hidup dan inklusif.
Garebeg Mulud di Tahun Dal ini bukan sekadar perayaan. Ia adalah sebuah narasi tentang spiritualitas, ketertiban, dan persatuan. Di balik setiap gunungan, setiap butir nasi, dan setiap jajanan pasar, terdapat doa dan harapan. Di balik setiap asap yang mengepul dari Gunungan Bromo, terdapat kearifan yang abadi. Yogyakarta terus membuktikan bahwa di tengah arus globalisasi, kearifan lokal adalah harta yang tak ternilai harganya, sebuah warisan yang tak hanya patut disaksikan, tetapi juga dipahami dan dihayati. (dwi agus w)
by museum || 04 Juli 2023
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...
by museum || 02 Juni 2022
Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...
by museum || 24 Mei 2022
Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...
by museum || 18 September 2023
Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...
by museum || 24 Oktober 2022
Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...
by admin || 11 Mei 2012
YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...
by admin || 18 Juni 2013
"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...