Api yang Tak Pernah Padam di Panggung Sendratari: Kilau Epos Klasik di Yogyakarta

by ifid|| 20 September 2025 || 334 kali

...

Gelaran seni budaya di Yogyakarta tak pernah kehilangan pesonanya, selalu menyuguhkan napas baru bagi warisan leluhur. Pada 19-20 September 2025, Pendapa Agung Universitas Widya Mataram menjadi saksi bisu dari sebuah perhelatan akbar yang membakar semangat seni dan sejarah: Festival Sendratari DIY 2025. Mengangkat tema besar "Api di Bukit Menoreh", sebuah epos klasik karya S.H. Mintardja yang telah menjadi 'laboratorium seni tradisi' selama 55 tahun, festival ini bukan sekadar ajang kompetisi, melainkan sebuah wadah di mana para seniman muda dan senior berkolaborasi untuk menggali makna dan mentransformasikannya menjadi karya yang relevan dengan masa kini.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, dalam sambutannya menegaskan bahwa festival ini adalah wahana bagi para seniman untuk tidak hanya mengeksplorasi estetika, tetapi juga menyelami literasi dan mentransformasi nilai-nilai luhur menjadi karya yang menyentuh. Setiap gerakan, alunan musik, dan tata panggung berhasil mengisahkan perjuangan, kepahlawanan, dan semangat pantang menyerah yang tak lekang dimakan waktu. Inilah bukti bahwa seni dan budaya adalah "api" yang tak pernah padam.

Festival Sendratari DIY bukan sekadar agenda tahunan, melainkan laboratorium seni tradisi yang telah berlangsung konsisten selama 55 tahun. Dari generasi ke generasi, festival ini telah melahirkan banyak penari, mengasah kualitas sumber daya manusia di bidang tari, sekaligus menjadi wahana untuk menginternalisasi nilai budaya melalui seni pertunjukan.

Pada tahun ini, Festival Sendratari mengambil tema “Api di Bukit Menoreh”, karya besar S.H. Mintardja. Sebuah karya sastra yang tidak hanya memotret dinamika sejarah dan perjuangan, tetapi juga menyuguhkan nilai-nilai luhur tentang keberanian, kebersamaan, dan daya juang. Melalui pengangkatan tema ini, para peserta diharapkan tidak hanya mengeksplorasi sisi estetika garap tari, namun juga menyelami literasi—menggali makna, menginterpretasi pesan, dan mentransformasikannya menjadi karya yang relevan dengan zaman.

Kami berharap Festival Sendratari tahun ini tidak semata menjadi ajang kompetisi, tetapi lebih jauh menjadi ruang untuk saling mengapresiasi, belajar, dan melestarikan budaya. Semangat yang utama adalah kecintaan kita pada budaya, sehingga warisan leluhur dapat terus hidup, tumbuh, dan memberi arah pada perjalanan generasi mendatang.

Jantung Epos Berdetak

Gemuruh panggung membelah kesunyian malam di Pendapa Agung saat hari pertama festival dimulai. Tiga kontingen—dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Gunungkidul—mempersembahkan interpretasi mereka yang unik, masing-masing dengan sudut pandang yang mendalam.

"Guruh": Gemuruh Sang Murid dari Kota Yogyakarta

Pembuka festival adalah pementasan dari Kota Yogyakarta, yang berjudul "Guruh". Karya ini menyoroti perjalanan batin Agung Sedayu sebagai seorang murid. Judul "Guruh" di sini adalah metafora dari gejolak batin dan kekuatan yang memancar dari sang tokoh. Dengan koreografi dinamis dan musik yang menggelegar, "Guruh" menggambarkan perjuangan sang murid dalam mengendalikan diri dan menyalurkan kekuatannya untuk kebaikan. Penampilan ini memancarkan energi yang luar biasa, seakan-akan penonton ikut merasakan gejolak batin sang tokoh utama. Pementasan ini berhasil membawa Kota Yogyakarta meraih posisi kedua sebagai Penyaji Terbaik.

"Sandi Kala": Bara Luka yang Tersembunyi dari Sleman

Selanjutnya, Kabupaten Sleman menampilkan "Sandi Kala", sebuah pementasan yang berani menyelami sisi gelap dari kisah ini. "Sandi Kala" berfokus pada bara dendam yang membakar hati Sidanti. Ini adalah kisah tentang luka yang tersembunyi, tentang jiwa yang mencari kasih sayang yang tak pernah didapatkan. Pementasan ini berhasil memvisualisasikan perjuangan batin yang kompleks, meninggalkan pertanyaan mendalam bagi penonton: apakah waktu akan menyembuhkan luka atau justru memicu kehancuran? Meskipun tidak meraih posisi puncak, "Sandi Kala" adalah sebuah keberanian artistik yang patut diapresiasi.

"Suluh": Pelita di Tengah Kegelapan Hati dari Gunungkidul

Terakhir di hari pertama, Kabupaten Gunungkidul membawakan karya berjudul "Suluh". Dalam bahasa Jawa, "suluh" berarti obor atau pelita. Meskipun nyalanya kecil, sebuah suluh mampu menerangi kegelapan. Pertunjukan ini mengisahkan peran "suluh" sebagai penerang bagi hati Sidanti yang terluka dan bagi Agung Sedayu serta Pandan Wangi yang menghadapi dilema berat. "Suluh" menjadi pengingat bahwa sebuah cahaya kecil pun mampu membimbing jiwa-jiwa yang tersesat dalam kegelapan. Pementasan ini berhasil menempatkan Gunungkidul sebagai Penyaji Terbaik III.

Puncak Cerita dan Pengukuhan Takdir

Pada hari kedua, panggung Sendratari kembali memanas dengan penampilan dari dua kontingen terakhir. Kali ini, fokus cerita beralih pada pengorbanan dan penentuan takdir.

"Labuh Labet": Pengorbanan Seorang Satria dari Kulon Progo

Kabupaten Kulon Progo membuka hari kedua dengan karya "Labuh Labet". Ungkapan ini berarti 'pengorbanan yang dilakukan dengan sepenuh hati'. Pementasan ini adalah sebuah ode bagi para pahlawan yang mengukir sejarah dengan ketulusan dan keberanian. "Labuh Labet" menggambarkan Agung Sedayu sebagai sosok yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi negerinya. Pengorbanan tulus ini, menurut pementasan, tidak akan sirna, melainkan menjelma menjadi cahaya abadi yang menuntun generasi berikutnya.

"Singlon": Langkah Senyap dari Kabupaten Bantul

Sebagai penutup yang megah, Kabupaten Bantul mempersembahkan "Singlon", sebuah karya yang berhasil memukau dewan juri dan penonton. "Singlon" secara harfiah berarti 'perumpamaan' atau 'analogi' yang menyiratkan makna tersembunyi. Pertunjukan ini melambangkan perjalanan manusia yang dijalankan secara diam-diam. Melalui tokoh Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Sumala, "Singlon" memvisualisasikan bagaimana setiap langkah, meskipun senyap, pada akhirnya akan mengukir takdir. Keberhasilan ini mengukuhkan dominasi Bantul, yang berhasil menyabet gelar Penyaji Terbaik I.

Apresiasi dan Pengukuhan Pemenang

Setelah dua hari penuh pertunjukan yang memukau, pengumuman pemenang menjadi puncak acara yang paling dinantikan. Panggung bergetar oleh sorak sorai saat nama-nama pemenang dibacakan, mengukuhkan kerja keras dan dedikasi para seniman.

Penyaji Terbaik

  • Penyaji Terbaik I: Kabupaten Bantul dengan pementasan "Singlon"
  • Penyaji Terbaik II: Kota Yogyakarta dengan pementasan "Guruh"
  • Penyaji Terbaik III: Kabupaten Gunungkidul dengan pementasan "Suluh"
  • Penyaji Terbaik IV: Kabupaten Sleman
  • Penyaji Terbaik V: Kabupaten Kulon Progo

Kemenangan Kabupaten Bantul juga diperkuat oleh dominasi mereka di berbagai kategori perorangan. Ini menjadi bukti nyata dari regenerasi talenta seni di DIY yang terus berkembang.

Penghargaan Individu Terbaik

  • Sutradara Terbaik: Muhammad Samiata (Kabupaten Bantul)
  • Penata Tari Terbaik: Lintang Ayodya (Kota Yogyakarta)
  • Penata Iringan Terbaik: Revraja Diwandono (Kabupaten Bantul)
  • Pemeran Utama Putra Terbaik: Irwanda Putra Rahmandika (Kabupaten Bantul)
  • Pemeran Utama Putri Terbaik: Nindian Kinaya Paramarastri (Kabupaten Bantul)
  • Penata Rias dan Busana Terbaik: Irim-irim Laras Wangi (Kota Yogyakarta)
  • Penata Artistik Terbaik: Subekti Wiharto (Kabupaten Bantul)
  • Peran Pembantu Putra Terbaik: Putra Jalu Pamungkas (Kota Yogyakarta)

Dari gemuruh "Guruh" hingga langkah senyap "Singlon", setiap pementasan berhasil menghidupkan kembali epos klasik "Api di Bukit Menoreh" dengan interpretasi yang segar. Festival Sendratari DIY 2025 membuktikan bahwa seni dan budaya adalah "api" yang tak pernah padam. Melalui interpretasi modern dari sebuah epos klasik, para seniman berhasil menjaga warisan leluhur tetap hidup, tumbuh, dan relevan bagi generasi mendatang. Festival ini bukan hanya merayakan kemenangan, tetapi juga mengukuhkan tekad untuk terus melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan di DIY sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta