Ketika Seni Merangkul Desa: "Kawruh: Tanah Lelaku" di Jantung Kulon Progo

by ifid|| 23 September 2025 || || 57 kali

...

Kulon Progo - Suasana berbeda terasa di Padukuhan Boro II, Kalurahan Karangsewu, Kapanewon Galur, Kabupaten Kulon Progo. Kampung kecil di pesisir selatan DIY ini mendadak ramai, dipenuhi instalasi seni monumental dan karya-karya kontemporer. Momen itu adalah bagian dari pembukaan Biennale Jogja XVIII 2025, sebuah perhelatan seni yang tahun ini mengangkat tema "Kawruh: Tanah Lelaku" dan menjadikan desa sebagai ruang utama penyelenggaraannya.

Acara dibuka dengan Merti Dusun yang dilanjutkan dengan kirab "Pajal Ulihan". Warga desa, seniman, dan pengunjung menyatu dalam arak-arakan yang memamerkan semangat kebersamaan. Tiga gunungan berisi produk olahan kelapa, termasuk wingko, menjadi rebutan warga. Kirab sejauh dua kilometer ini melewati gang-gang sempit yang dipenuhi rumah warga, sekaligus menjadi rute bagi puluhan karya seni yang dipajang.

Karya-karya seni yang tersebar di sudut-sudut kampung ini menjadi daya tarik utama. Mulai dari instalasi tikar dari plastik bekas, layang-layang merah di sekitar batu-batu, hingga papan tulis hitam berisi sketsa gagasan di tengah sawah. Yang paling mencuri perhatian adalah instalasi satwa kebon berupa burung cekakak raksasa dengan bulu dari kulit jagung dan tulang dari bonggol jagung. Ada juga orang-orangan sawah berbaju putih, wayang-wayangan anak, dan wayang cumplung—batok kelapa yang diubah menjadi kepala wayang golek—yang disusun dengan tubuh dari serat bambu.

Gotong Royong dalam Karya Seni

Yang membuat Biennale Jogja XVIII edisi ini istimewa adalah kolaborasi erat antara seniman dan masyarakat. Purwiati, Kepala Taman Budaya Yogyakarta, yang membacakan sambutan Kelapa Dinas Kebudayaan DIY, menekankan bahwa semangat "Seni sebagai Praktik Hidup" menjadi cerminan bagi warga desa untuk "membaca perjalanan mereka sendiri". Melalui proses metani atau memetakan potensi dan permasalahan, warga diajak untuk melihat bagaimana persoalan dapat dijawab dengan potensi yang telah ada.

"Karya seni di sepanjang jalan padukuhan merupakan hasil kolaborasi seniman dan masyarakat," ujar Andi Sindana, Dukuh Boro II. Ia menambahkan bahwa kegiatan gotong royong ini menjadi sarana untuk membentuk sebuah karya seni. Kolaborasi ini tidak hanya menghasilkan karya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran baru bagi warga.

Salah satu contoh nyata kolaborasi ini adalah 20 gapura yang terbuat dari bahan-bahan serba pohon kelapa sabut, batok, dan pelepah daun. Gapura-gapura ini menyambut pengunjung saat mereka memasuki lokasi acara. Teguh Paino, seorang seniman asal Kulon Progo, bersyukur bisa ikut serta dalam Biennale 18 ini. Menurutnya, kegiatan ini merupakan wujud nyata seniman dalam mengangkat potensi lokal daerah.

Melawan Luntur Identitas di Tengah Arus Modernisasi

Padukuhan Boro II dipilih menjadi tuan rumah Biennale bukan tanpa alasan. Dukuh Andi Sindana menjelaskan bahwa wilayahnya memiliki keunikan geografis, seperti lahan pertanian yang luas, namun keunggulan ini juga berpotensi membuat masyarakat kehilangan identitasnya. "Masyarakat kami kebanyakan petani dan buruh, mereka hanya melihat keunggulan dan gemerlap daerah lain," ucap Andi.

Keberadaan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) dan Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) yang membelah kampung mereka berpotensi melunturkan kearifan lokal. Andi merasa bahwa banyak masyarakat justru tertarik dengan daerah lain. Jika terus dibiarkan, potensi padukuhan akan luntur, padahal potensi lokal seperti pertanian kelapa sangat menarik untuk dilihat oleh warga luar daerah.

Melalui kerja sama dengan Yayasan Biennale, potensi wilayah ini kembali diangkat. Komoditas kelapa, yang menjadi andalan pertanian lokal, disulap menjadi beragam karya seni. Mulai dari gapura hingga instalasi lain yang menggunakan bahan-bahan dari pohon kelapa. Seniman Kulon Progo juga menangkap keaslian wilayah ini dengan mengerjakan instalasi seni berupa Kitiran kincir angin kecil dari bahan-bahan sederhana—yang memanfaatkan angin kencang di pesisir.

"Kawruh: Tanah Lelaku," Membaca Ulang Pengetahuan dan Tradisi

Tema "Kawruh: Tanah Lelaku" sendiri berakar dari bahasa Jawa, di mana kawruh berarti pengetahuan. Dalam Biennale kali ini, kawruh dimaknai sebagai keragaman praktik artistik yang lahir dari pengetahuan yang sudah menubuh, serta kesadaran yang berakar pada kearifan lokal.

Perhelatan ini mengajak semua pihak untuk merefleksikan sejarah lokal, merebut kembali tafsir mitologi dan narasi leluhur, sekaligus memahami bagaimana perubahan lanskap dan tanah memengaruhi kehidupan hari ini. Ini adalah kelanjutan dari Biennale Jogja 17 yang bertajuk "Titen".

Penyelenggaraan Biennale Jogja ke-18 ini akan berlangsung dalam dua babak. Babak pertama yang bertajuk Pr??aning Boro digelar di Padukuhan Boro II, Karangsewu, Kulon Progo, dari 19 hingga 24 September 2025. Selanjutnya, babak kedua akan berlangsung pada 5 Oktober hingga 20 November 2025 di beberapa lokasi, yaitu Kota Yogyakarta, Desa Bangunjiwo, dan Desa Panggungharjo di Kabupaten Bantul. Acara ini akan melibatkan lebih dari 50 seniman dari berbagai daerah di Indonesia serta seniman-seniman dari negara-negara kawasan Global Selatan.

Apresiasi untuk Maestro Seni Rupa

Selain merayakan seni dan kolaborasi, momentum pembukaan Biennale Jogja 18 juga menjadi sangat hikmat dengan dipilihnya salah satu tokoh seni rupa Indonesia sebagai pemenang “Lifetime Achievement Award”. Penghargaan ini diberikan atas loyalitas, dedikasi, dan kontribusi sang tokoh pada dunia seni rupa di Yogyakarta serta prestasinya dalam lingkar seni rupa Indonesia.

Dian Lakshmi Pratiwi menyampaikan apresiasi yang tiada batas bagi insan terpilih yang terus-menerus menelurkan jejak sejarah untuk kemajuan seni dan budaya. Ia berharap, penghargaan yang secara berkala diberikan oleh Biennale Jogja ini dapat membentuk satu ekosistem penyadaran dan pengetahuan tentang kerja-kerja para seniman dan budayawan seni rupa, khususnya bagi generasi hari ini dan yang akan datang.

Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi yang kental, Biennale Jogja XVIII 2025 di Padukuhan Boro II menjadi sebuah wajah baru dalam upaya mengusung praktik kesenian dalam perkembangan seni kontemporer. Ia tidak hanya sekadar pameran, tetapi juga sebuah wahana kebudayaan yang hidup, menyatu dengan alam, masyarakat, dan kearifan lokal. (Istri Nut R)

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta