"Eling | Awakening": Panggilan Kesadaran dari Jantung Seni Rupa Yogyakarta

by ifid|| 10 Oktober 2025 || || 28 kali

...

YOGYAKARTA — Pintu Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kembali terbuka lebar, menyambut para penikmat seni dan masyarakat umum dalam gelaran akbar tahunan yang telah menjadi denyut nadi seni rupa kontemporer, Nandur Srawung #12. Dibuka secara resmi pada Kamis, 9 Oktober 2025, pameran ini bukan sekadar ajang apresiasi, melainkan sebuah seruan mendesak: "Eling | Awakening".

Tema "Eling" diusung bukan tanpa alasan. Di tengah badai krisis global—dari konflik geopolitik, disrupsi teknologi, hingga krisis iklim—para seniman seolah ingin menarik kita semua dari pusaran tanpa henti itu. "Nandur Srawung" sendiri secara harfiah berarti "menanam pergaulan" atau "membina hubungan". Sejak awal, acara ini telah membuktikan diri sebagai ruang di mana gagasan berdialog, kreativitas bertemu, dan kebersamaan para seniman tumbuh subur.

Pameran yang menampilkan 100 karya seni rupa dari seniman lokal, nasional, hingga internasional ini, akan berlangsung hingga 18 Oktober 2025. Terletak di Lobi Gedung Societeit Militaire dan Art Garden TBY, Nandur Srawung #12 menjadi respons artistik para seniman terhadap berbagai krisis yang saling berkelindan. Karya-karya yang dipajang bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga menggugah kesadaran bahwa seni adalah jalan untuk memahami diri, sesama, dan dunia yang terus berubah.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, dalam sambutan pembukaannya, menekankan makna filosofis pameran ini. “Nandur itu menanam, Srawung itu menjadi bagian dari kebersamaan. Kita berharap Nandur Srawung tetap menjadi agenda dimana segala kreativitas muncul karena srawung-nya, dan menjadikannya sebagai jangkar vital bagi Yogyakarta maupun Indonesia,” ungkapnya, menegaskan pentingnya kolaborasi dan interaksi dalam ekosistem seni.

Eling | Awakening: Menanam Kesadaran di Tengah Badai

Di balik tema "Eling | Awakening" tersembunyi sebuah perenungan mendalam tentang kondisi manusia di era modern. "Krisis geopolitik, krisis teknologi, dan krisis iklim kini terasa langsung dalam kehidupan sehari-hari kita," ujar Rain Rosidi, salah satu kurator pameran. "Apa yang terjadi di luar sana seperti konflik, disrupsi, dan perubahan iklim sudah masuk ke rumah kita sendiri, bahkan ke dalam diri kita."

Inilah pergulatan yang melahirkan konsep "Eling". Dalam pandangan hidup Jawa, eling bukan sekadar mengingat, melainkan sebuah kesadaran penuh. Ini adalah kesadaran akan diri sendiri, akar budaya, peran kita dalam masyarakat, dan dampak tindakan kita terhadap alam semesta. Tema ini mengajak setiap individu untuk sejenak berhenti, menarik napas, dan merenung, agar kembali terhubung dengan inti kemanusiaan kita yang sering kali luput.

"Kami ingin mengajak semua orang menemukan kesadaran baru, kebangkitan bersama yang bersumber dari rasa dan empati manusia," tutur Rain Rosidi. Pameran ini berusaha menjadi sebuah ruang kolektif untuk merenungi kesadaran dan kebangkitan di tengah dunia yang terus bergerak cepat.

Melalui pendekatan visual dan naratif yang kuat, karya-karya yang ditampilkan mengajak publik untuk merefleksikan kembali makna kesadaran manusia secara utuh. Ini mencakup aspek fisik, spiritual, dan ekologis. Pameran ini berfungsi sebagai cermin yang menuntut kita untuk "eling" bahwa seni bukan hanya tentang keindahan estetika. Lebih dari itu, seni memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati dan menjadi pengingat yang tajam akan siapa diri kita dan apa tanggung jawab kita.

Kreativitas dalam Keterbatasan Ruang

Tahun ini, Nandur Srawung menghadapi tantangan unik. Ruang Pamer Utama TBY sedang direnovasi, memaksa penyelenggara untuk berpikir kreatif dalam menata ruang pamer. Namun, alih-alih menjadi kendala, keterbatasan ini justru memicu inovasi. Para kurator mengubah Lobi Gedung Societeit Militaire menjadi area pamer utama, dengan perluasan ke halaman luar yang mereka sebut Art Garden.

"Kami sangat berbangga hati bisa menyambut tahun ini dengan sebuah pameran, walaupun kondisinya tidak sesuai dengan idealisasi yang biasanya. Karena ruang utama sedang direnovasi, maka kami mengubah Lobi Societeit Militaire menjadi area pamer utama, dengan perluasan ke halaman luar yang kami sebut Art Garden,” jelas Rain Rosidi.

Pendekatan ruang alternatif ini menghasilkan suasana pameran yang lebih terbuka, alami, dan interaktif, menyatukan seni rupa dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini terbukti efektif dan mendapat apresiasi dari pengunjung. Ima, salah seorang pengunjung, menyatakan, “Menarik sekali bagaimana TBY memanfaatkan ruang Societeit Militaire dan halaman sebagai Art Garden. Meski ruang utama direnovasi, hasilnya justru terasa lebih hidup dan segar.”

Keterbatasan fisik justru menjadi katalis bagi kreativitas. Pameran ini membuktikan bahwa seni tidak membutuhkan ruang yang sempurna, melainkan ruang yang tepat—ruang yang memungkinkan karya berinteraksi dengan pengunjung dan lingkungan sekitarnya, menumbuhkan pengalaman yang lebih personal dan mendalam.

Ruang Kolaborasi Lintas Disiplin

Nandur Srawung tak berhenti pada pameran visual. Sepanjang pelaksanaannya, TBY menghadirkan beragam program harian yang dibagi menjadi tiga kategori utama, menunjukkan bahwa acara ini adalah sebuah laboratorium seni yang dinamis.

  1. Aktivasi:
  • Nandur Gawe: Sebuah open studio di mana pengunjung dapat menyaksikan langsung proses kreatif para seniman. Ini membuka jendela ke balik layar penciptaan seni, menghilangkan sekat antara seniman dan audiens.
  • Nandur Waras: Program seni partisipatoris dan performa yang mengajak publik berdialog tentang kompleksitas zaman.
  • Bursa Seni: Ruang untuk memfasilitasi transaksi seni, mendukung keberlanjutan ekonomi kreatif.
  1. Edukasi:
  • Srawung Sinau: Kelas terbuka yang dirancang sebagai ruang interaksi dan pembelajaran.
  • Nandur Kawruh, Lokakarya, dan Gelar Wicara: Program-program ini dirancang untuk memfasilitasi diskusi dan kolaborasi lintas disiplin, menghadirkan wawasan baru bagi seniman maupun publik.
  1. Apresiasi:
  • Young Rising Artist Award: Penghargaan untuk seniman muda berbakat.
  • Lifetime Achievement Award: Penghargaan untuk seniman senior yang telah memberikan kontribusi besar.

Kehadiran program-program ini menegaskan bahwa Nandur Srawung adalah ruang kolaboratif di mana seniman, kurator, dan masyarakat saling belajar dan bertumbuh. Keterlibatan lintas generasi, mulai dari pelajar SD hingga SMA, juga menjadi upaya untuk menciptakan ruang inklusif di mana publik dari berbagai usia dapat saling berefleksi dan menemukan makna dalam seni.

Apresiasi untuk Dedikasi dan Regenerasi Seniman

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjalanan dan potensi seniman, Nandur Srawung 2025 memberikan dua penghargaan utama yang menjadi simbol dari semangat regenerasi dan penghormatan.

  1. Young Rising Artist Award: Penghargaan ini diberikan kepada Jecka DeLaren, seorang seniman muda yang dikenal melalui eksperimen medium dan gagasan sosialnya. Jecka telah menunjukkan potensi besar dalam berbagai pameran di Padang, Jakarta, dan Yogyakarta. Penghargaan ini menjadi simbol keberlanjutan ekosistem seni, memotivasi generasi muda untuk terus berkarya dan berani bereksperimen. Ini adalah pesan bahwa masa depan seni rupa ada di tangan mereka.
  2. Lifetime Achievement Award: Dianugerahkan kepada Yustina Neni, seorang figur penting dalam dunia seni rupa kontemporer. Yustina Neni adalah penggagas ruang alternatif yang sejak 1997 telah berkontribusi besar dalam perkembangan seni di Yogyakarta. Ia dikenal melalui inisiatif ruang galeri dan yayasan yang menghubungkan seniman lintas generasi dan negara. Penghargaan ini adalah simbol penghormatan kepada sosok senior yang telah mengakar kuat, dedikasinya telah menjadi fondasi bagi ekosistem seni yang kini kita nikmati. Ini juga merupakan pengingat bahwa seni adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan dedikasi dan komitmen.

Penghargaan ini menegaskan komitmen Nandur Srawung untuk terus mendukung seniman di berbagai tahapan karir mereka, memastikan bahwa ekosistem seni tetap hidup dan berkembang, dari generasi ke generasi.

 

Makna Simbolis Bunga Teratai: Eling dan Awakening

Puncak acara pembukaan Nandur Srawung #12 ditandai dengan sebuah seremoni yang penuh makna: penyiraman bunga teratai oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, dan Kepala UPT Taman Budaya Yogyakarta, Dra. Purwiati.

Teratai dipilih bukan tanpa alasan. Dalam banyak tradisi, bunga teratai adalah simbol kebangkitan dan kesadaran. Bunga yang indah ini mekar dari lumpur, melambangkan proses pencerahan atau awakening—bangkit dari kegelapan untuk menemukan cahaya. Makna ini sejalan dengan semangat Nandur Srawung: menanam kesadaran baru di tengah tantangan zaman.

Dengan memilih teratai, Nandur Srawung ingin menyampaikan pesan bahwa seni tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga sarana penyadaran diri dan sosial. Sama seperti teratai yang mekar di atas air kotor, seni memiliki kemampuan untuk memurnikan pikiran dan hati, mengangkat kita dari kebisingan dan kekacauan dunia.

Kepala TBY, Dra. Purwiati, menegaskan komitmen TBY untuk terus menjadi ruang subur bagi tumbuhnya kreativitas dan inovasi seni rupa. “Melalui kegiatan seperti Nandur Srawung, kami berharap seniman, kurator, dan masyarakat dapat terus berinteraksi, berdialog, dan menumbuhkan ekosistem seni yang inklusif, dinamis, serta berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan,” ujarnya. Ia juga berharap, melalui tema yang diusung, seni dapat menjadi pengingat tentang siapa sejatinya manusia, tentang kebersamaan, dan tentang tanggung jawab terhadap sesama serta lingkungan.

Seni Sebagai Pengingat Abadi

Sebagai penutup, Nandur Srawung #12 kembali menegaskan perannya bukan hanya sebagai pameran, melainkan sebagai sebuah peristiwa kebudayaan. Tema "Eling | Awakening" mengundang setiap pengunjung untuk tidak hanya melihat karya, tetapi juga merasakannya, dan yang terpenting, berdialog dengannya. Pameran ini menjadi pengingat bahwa seni, dalam esensinya, adalah cermin. Sebuah cermin yang menuntut kita untuk jujur pada diri sendiri, mempertanyakan nilai-nilai yang kita pegang, dan mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menjaga warisan—baik itu budaya, moral, maupun lingkungan.

Di tengah gejolak global, seni rupa hadir sebagai oase. Melalui lukisan, patung, instalasi, dan seni partisipatoris, para seniman Nandur Srawung XII berhasil menerjemahkan esensi "Eling" ke dalam narasi visual yang mendalam. Mereka menunjukkan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati, mengubah pandangan, dan menjadi pengingat yang tajam.

Pameran Nandur Srawung XII, "Eling | Awakening," kini resmi dibuka dan mengundang hadirin sekalian untuk tidak hanya melihat karya, tetapi merasakan dan berdialog dengannya, memicu percikan "Eling" di dalam diri. Pameran ini adalah undangan untuk kembali pulang, ke esensi kemanusiaan kita, dan menemukan kesadaran kolektif yang kita butuhkan di tengah krisis.

Berita Terpopuler


...
Siklus Air: Definisi, Proses, dan Jenis Siklus Air

by museum || 04 Juli 2023

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi. Untungnya, air adalah sumber daya alam terbarukan. Proses pembaharuan air berlangsung dalam ...


...
Batik Kawung

by museum || 02 Juni 2022

Batik merupakan karya bangsa Indonesia yang terdiri dari perpaduan antara seni dan teknologi oleh leluhur bangsa Indonesia, yang membuat batik memiliki daya tarik adalah karena batik memiliki corak ...


...
Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan Jawa Barat Raden Dewi Sartika (1884-1947)

by museum || 24 Mei 2022

Raden Dewi Sartika dilahirkan tanggal 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat, puteri Raden Somanagara dari ibu Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika menumpuh Pendidikan di Cicalengka. Di sekolah ia ...


...
Limbah Industri: Jenis, Bahaya dan Pengelolaan Limbah

by museum || 18 September 2023

Limbah merupakan masalah besar yang dirasakan di hampir setiap negara. Jumlah limbah akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Permasalahan sampah timbul dari berbagai sektor terutama dari ...


...
Raden Ayu Lasminingrat Tokoh Intelektual Pertama

by museum || 24 Oktober 2022

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843, merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi ...



Berita Terkait


...
Inilah Sabda Tama Sultan HB X

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Sabda tama yang disampaikan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB, secara lugas menegaskan akan posisi tawar Kraton dan Pakualaman dalam NKRI. Sabda tama ini ...


...
Permasalahan Pakualaman Juga Persoalan Kraton

by admin || 11 Mei 2012

YOGYA (KRjogja.com) - Kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Hadi Jatiningrat menafsirkan sabda tama Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan yang menyangkut ...


...
PENTAS TEATER 'GUNDALA GAWAT'

by admin || 18 Juni 2013

"SIFAT petir itu muncul secara spontan, mendadak, tidak memilih sasaran. Beda dengan petir yang di lapas Cebongan. Sistemik, terkendali," ujar Pak Petir.Pernyataan tersebut lalu dikomentari super ...





Copyright@2025

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta